A.   MASA PENGENALAN PADA DUNIA GAIB

Di Purworejo aku hidup di pedesaan yang jauh dari keramian, karena tidak dapat meneruskan kuliah yang disebabkan keadaan orang tua sehingga aku frustasi, hampir setiap hari aku tidak berani menampakkan batang hidungku apalagi menemui tamu  yang datang,  benar-benar linglung aku di saat itu. Setiap sore menjelang magrib aku duduk termenung di pinggiran sumur tua sebelah depan rumah hingga orang tuaku takut dikira aku akan bunuh diri, namun sedikitpun tak terbesit kata "bunuh diri” dorongan bathinku kuat rasanya aku harus kesitu untuk mengadu nasib dan mencari wangsit dari gaib, orang tuaku sangat prihatin bahkan mengira kalau aku terkena gangguan kejiwaan, berbagai upaya pengobatan telah dilakukan namun semuanya nihil, akhirnya orang tuaku membujuk supaya aku mau mandi berendam di sungai Bogawonto di tengah malam hari ternyata ajakan itu kusambut dengan mata berbinar tanda suatu harapan aku harus mulai mengosongkan perut atau berpuasa demi untuk konsentrasi dalam rangka pengendalian diri menghadapi pensucian. Di sungai Bogowonto pada malam yang gelap aku didampingi oleh bapakku, adikku dan satu tetanggaku yang saling berjauhan dari tempat pensucian, adapun kejadian di awal pesucian sebagai berikut :

 1.   Malam pertama lakon di sungai untuk mensucikan diri tiba pada saat hari kelahiranku yaitu hari Senin Pon tahun 1989, dari doa penghantar yang kusampaikan pada Allah bersama sang mbaureksa kali dan air (Nabi Kidzir, Kanjeng Sunan Kali Jaga, Kyai Wangkeng, Nini Wangkeng) dengan lepas busana tubuhku tercelup sambil bersila dibebani batu hingga air sampai sebatas dagu, doa permohonan kusampaikan, kebetulan tempat yang  aku pilih dekat batu besar dengan pusaran ombak yang mengelilingi tempat tersebut, doa itu sebagai berikut :

a.    Dhuh Gusti Ingkang Murbeng Dumadi kulo nyuwun agunging samudra pangaksami sedaya lepat lan nyuwun pinayungan rakhmating paduka, tansah waras slamet, sumingkir bebaya lan rubeda. (Ya Tuhan Yang Menguasai Segalanya, saya minta maaf atas segala kesalahan dan minta perlindungan dari-MU semoga selalu selamat jauh dari bahaya dan godaan).

b.     Dhuh Gusti Ingkang Murbeng Dumadi kula nyuwun ngampil senjata pitulungan supados kulo saged dados pengayome, pengajenge lan penggedhene para Masyarakat Bangsa lan Negara. (Ya Tuhan Yang Menguasai Segalanya, saya minta pinjam senjata pertolongan supaya aku menjadi pelindung, pemimpin dan pembesarnya para masyarakat bangsa dan negara)

c.      Dhuh Gusti Ingkang Murbeng Dumadi kula nyuwun ruwat jiwa lan raga kula ingkang kathah sukerta punika. (Ya Tuhan Yang Menguasai Segalanya, saya minta dilepaskan dari segala kekotoran jiwa dan raga dari dosa)

Dari penghantar doa tersebut langsung aku disambut oleh hujan batu kerikil yang menghantam pada batu di sebelah belakangku dan anehnya mengapa aku tidak terkena sedikitpun oleh sambaran batu tersebut, selanjutya suasana lenggang seakan kali datang banjir hingga terdengar ada orang menyebrang mengelilingi aku ternyata orang tua berjubah putih hanya memandangku dan tak lama terpancar bau kembang kanthil semerbak harumnya.

 2.     Malam kedua tepat pukul 00.00 WIB aku telah menenggelamkan jasad yang penuh luka dari duri-duri kehidupan untuk disucikan. Saat angan melayang menuju pada suatu titik sentral terlenalah aku oleh elusan lembut seseorang serba wulung, beliau tidak lain adalah Kanjeng Sunan Kalijaga yang memberi isyarat "katrima penyuwunmu ngger”.(diterima permohonanmu nak)

 3.    Malam ketiga, saat kentongan berbunyi satu kali pertanda pukul 01.00 WIB jasadku telah terendam air kali yang begitu derasnya, karena terlalu tenangnya sehingga terlena sampai "mati sakjroning ngaurip” (mati dalam kehidupan) dan mengalami suatu keanehan alam  "Mengapa air dan bumi ini diam sejenak tanpa suara apapun juga" inikah yang disebut "Banyu Turu" (air tidur). Sejenak terlena ragaku dirambati semacam rambut terurai, inikah yang di namakan " Anja-anja siluman " atau "Jala Sutra Tampang Kencana " rasanya risih sekali, tidak lama kemudian ada semacam benda lunak merambat sampai batas leherku namun terus pergi.  Dari keadaan tersebut  hadirlah seorang kakek tua renta serba putih menunduk dan hormat sambil menyeburkan asap hangat beraroma sari melati ke mukaku.

 4.    Malam keempat dipenuhi oleh gejolak jiwa perasaanku  tak menentu karena eyangku hampir mendekati saat-saat kritis, namun dalam keterlenaan tersebut saat jasadku sudah terkubur air kali, aku didekati suara aneh mendesis bagai seekor naga besar mendekati disebelah kananku dan ombak kali semakin membesar hingga kadang-kadang kepalaku ini tersembur oleh ombak tersebut dan aku berkata "Hai naga yen siro bakal mangsa aku.., mangsanen, nanging aja nganti tumetes getihku" (Hai naga kalau kamu mau menelan aku…, makanlah, tapi jangan sampai menetes darahku), seketika suara desisan naga tersebut hilang tanpa bekas.

Pada sepertiga malam datanglah Kanjeng Sunan Kalijaga dengan sentuhan lembut dan berkata "Jeneng sira dak suwun dadi putraku ngger" (Kamu kuminta menjadi anakku nak), ketika itu kepalaku menunduk tanda setuju.